1. Antonim
Antonim berasal dari bahasa yunani kuno, yaitu onama yang berarti “nama” dan anti yang berarti “melawan” jadi secara harfiah antonim berarti nama lain untuk benda lain pula.
Antonim atau antonimi adalah hubungan semantik antara dua buah satu ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertengahan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain.
Contoh:
• keras x lembek
• naik x turun
• kaya x miskin
• laki-laki x perempuan
• atas x bawah
Dilihat dari sifat hubungannya, maka antonim itu dapat dibedakan atas beberapa jenis, antara lain:
1. Antonim yang bersifat mutlak
Antonim mutlak adalah antonim yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, maksudnya tidak ada lawan kata selain kata itu.
Contoh:
• hidup x mati
Kata hidup berantonim secara mutlak dengan kata mati, sebab sesuatu yang masih hidup tentunya belum mati, dan sesuatu yang sudah mati tentunya sudah tidak hidup lagi.
2. Antonim yang bersifat relatif atau bergradasi
Contoh:
• besar x kecil
• terang x gelap.
Jenis antonim ini disebut bersifat relatif, karena batas antara yang satu dengan yang lainnya tidak dapat ditentukan secara jelas.
3. Antonim yang bersifat relasional
Contoh:
• membeli x menjual
• suami x istri,
• guru x murid
Antonim jenis ini disebut relasional, karena munculnya yang satu harus disertai dengan yang lain. Adanya membeli karena adanya menjual, adanya suami karena adanya istri. Jika salah satu tidak ada maka yang lain juga tidak ada.
4. Antonim yang bersifat hierarkial
Contoh:
• Tantama x bintara
• Gram x kilogram
Di atas bersifat hierarkial, karena kedua satuan ujaran yang berantonim itu berada dalam satu garis jenjang atau hierarki. Demikianlah, kata tantama dan bintara dalam satu garis kepangkatan militer, kata gram dan kilogram berada dalam satu garis jenjang ukuran timbangan.
2. Makna Kata dan Makna Istilah
Setiap kata atau leksem memiliki makna. Pada awalnya, makna memiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Namun, dalam penggunaannya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada di dalam konteks kalimatnya atau konteks situasinya. Makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas.
Contoh:
- Kata tahanan, bermakna orang yang ditahan, tapi bisa juga hasil perbuatan menahan.
- Kata air, bermakna air yang berada di sumur, di gelas, di bak mandi atau air hujan.
istilah mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks. Hanya perlu diingat bahwa sebuah istilah hanya digunakan pada bidang keilmuan atau kegiatan tertentu.
Contoh:
- Kata tahanan di atas masih bersifat umum, istilah di bidang hukum, kata tahanan itu sudah pasti orang yang ditahan sehubungan suatu perkara.
Sabtu, 02 Juni 2012
Pengertian Pragmatik
Pragmatik merupakan cabang ilmu bahasa yang semakin dikenal pada masa sekarang ini, walaupun pada kira-kira dua dasa warsa yang silam, ilmu ini jarang atau hampir tidak pernah disebut oleh para ahli bahasa. Hal ini dilandasi oleh semakin sadarnya para linguis, bahwa upaya untuk menguak hakikat bahasa tidak akan membawa hasil yang diharapkan tanpa didasari pemahaman terhadap pragmatik, yakni bagaimana bahasa itu digunakan dalam komunikasi (Leech, 1993: 1). Leech (1993: 8) juga mengartikan pragmatik sebagai studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi ujar (speech situasions).
Pragmatik sebagaimana yang telah diperbincangkan di Indonesia dewasa ini, paling tidak dapat dibedakan atas dua hal, yaitu (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, (2) pragmatik sebagai suatu yang mewarnai tindakan mengajar. Bagian pertama masih dibagi lagi atas dua hal, yaitu (a) pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (b) pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa atau disebut ‘fungsi komunikatif’ (Purwo, 1990:2).
Seorang filosof dan ahli logika Carnap (1938) menjelaskan bahwa pragmatik mempelajari konsep-konsep abstrak. Pragmatik mempelajari hubungan konsep yang merupakan tanda. Selanjutnya Montague mengatakan bahwa pragmatik adalah studi mengenai “idexical“ atau “deictic“. Dalam pengertian ini pragmatik berkaitan dengan teori rujukan atau deiksis, yaitu pemakaian bahasa yang menunjuk pada rujukan tertentu menurut pemakaiannya. Pragmatik merupakan salah satu bidang kajian linguistik, bidang yang merupakan penelitian bagi para ahli bahasa. Pragmatik yang dimaksud sebagai bahan pengajaran bahasa atau yang disebut fungsi komunikatif, biasanya disajikan dalam ajaran bahsa asing.
Levinson (1983) dalam bukunya yang berjudul Pragmatics, memberikan beberapa batasan tentang pragmatik. Beberapa batasan yang dikemukakan Levinson (1983: 9), antara lain mengatakan bahwa (1) “Pragmatik ialah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa”. Di sini, “pengertian/pemahaman bahasa” menunjuk kepada fakta bahwa untuk mengerti sesuatu ungkapan/ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungannya dengan konteks pemakaiannya. (2)“Pragmatik ialah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu”. (Nababan, 1987: 2)
Dalam batasan ini berarti untuk memahami pemakaian bahasa kita dituntut memahami pula konteks yang mewadahi pemakaian bahasa tersebut. Batasan lain yang dikemukakan Levinson mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu. Pragmatik ialah berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya bahasa dalam komunikasi (KBBI, 1993: 177).
Pragmatik sebagaimana yang telah diperbincangkan di Indonesia dewasa ini, paling tidak dapat dibedakan atas dua hal, yaitu (1) pragmatik sebagai sesuatu yang diajarkan, (2) pragmatik sebagai suatu yang mewarnai tindakan mengajar. Bagian pertama masih dibagi lagi atas dua hal, yaitu (a) pragmatik sebagai bidang kajian linguistik, dan (b) pragmatik sebagai salah satu segi di dalam bahasa atau disebut ‘fungsi komunikatif’ (Purwo, 1990:2).
Seorang filosof dan ahli logika Carnap (1938) menjelaskan bahwa pragmatik mempelajari konsep-konsep abstrak. Pragmatik mempelajari hubungan konsep yang merupakan tanda. Selanjutnya Montague mengatakan bahwa pragmatik adalah studi mengenai “idexical“ atau “deictic“. Dalam pengertian ini pragmatik berkaitan dengan teori rujukan atau deiksis, yaitu pemakaian bahasa yang menunjuk pada rujukan tertentu menurut pemakaiannya. Pragmatik merupakan salah satu bidang kajian linguistik, bidang yang merupakan penelitian bagi para ahli bahasa. Pragmatik yang dimaksud sebagai bahan pengajaran bahasa atau yang disebut fungsi komunikatif, biasanya disajikan dalam ajaran bahsa asing.
Levinson (1983) dalam bukunya yang berjudul Pragmatics, memberikan beberapa batasan tentang pragmatik. Beberapa batasan yang dikemukakan Levinson (1983: 9), antara lain mengatakan bahwa (1) “Pragmatik ialah kajian dari hubungan antara bahasa dan konteks yang mendasari penjelasan pengertian bahasa”. Di sini, “pengertian/pemahaman bahasa” menunjuk kepada fakta bahwa untuk mengerti sesuatu ungkapan/ujaran bahasa diperlukan juga pengetahuan di luar makna kata dan hubungan tata bahasanya, yakni hubungannya dengan konteks pemakaiannya. (2)“Pragmatik ialah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks-konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu”. (Nababan, 1987: 2)
Dalam batasan ini berarti untuk memahami pemakaian bahasa kita dituntut memahami pula konteks yang mewadahi pemakaian bahasa tersebut. Batasan lain yang dikemukakan Levinson mengatakan bahwa pragmatik adalah kajian tentang kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan konteks yang sesuai bagi kalimat-kalimat itu. Pragmatik ialah berkenaan dengan syarat-syarat yang mengakibatkan serasi tidaknya bahasa dalam komunikasi (KBBI, 1993: 177).
Kata Ulang /Reduplikasi
Kata ulang adalah merupakan kata jadian. Proses pembentukannya disebut reduplikasi. Jadi, kata ulang yaitu kata yang terdiri dari perulangan kata dasar.
Menurut Gorys Keraf (l984: 120 -121; 1991: 149 -150) menyebutkan empat macam reduplikasi atau pengulangan, yaitu pengulangan dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin suara, dan perulangan atau ulangan berimbuhan.
1. Kata ulang Dwilingga/sempurna/sejati/murni/utuh
Kata ulang utuh yaitu kata ulang yang dibentuk dari pengulangan bentuk dasar secara utuh. Dan yang diulang dapat berupa kata dasar maupun kata berimbuhan.
Menurut Gorys Keraf (l984: 120 -121; 1991: 149 -150) menyebutkan empat macam reduplikasi atau pengulangan, yaitu pengulangan dwipurwa, dwilingga, dwilingga salin suara, dan perulangan atau ulangan berimbuhan.
1. Kata ulang Dwilingga/sempurna/sejati/murni/utuh
Kata ulang utuh yaitu kata ulang yang dibentuk dari pengulangan bentuk dasar secara utuh. Dan yang diulang dapat berupa kata dasar maupun kata berimbuhan.
Contoh:
• Yang diulang berupa kata dasar,
o Jalan jalan-jalan
o Ciri ciri-ciri
o Muda muda-muda
• Yang diubah berupa kata berimbuhan,
o Perumahan perumahan-perumahan
o Perkebunan perkebunan-perkebunan
o Kebaikan kebaikan-kebaikan
2. Kata ulang Dwilingga Salin Suara
Kata ulang dwilingga salin suara yaitu kata yang dibentuk dari pengulangan bentuk dasar yang disertai perubahan salah satu fonemnya (bisa berupa fonem vokal maupun fonem konsonan),
1. Perubahan vokal
Gerak gerak-gerik balik bolak-balik
Tindak tindak-tanduk kelip kelap-kelip
Serba serba-serbi coret corat-coret
Pada contoh satu bentuk dasarnya terletak pada posisi pertama dan unsur ulangannya terletak pada kebalikan kedua (progresif). Contoh dua merupakan kebalikan dari yang pertama, yaitu bentuk dasar terletak pada posisi kedua, sedangkan unsur ulangannya terletak pada posisi pertama (regresif).
Serba serba-serbi coret corat-coret
Pada contoh satu bentuk dasarnya terletak pada posisi pertama dan unsur ulangannya terletak pada kebalikan kedua (progresif). Contoh dua merupakan kebalikan dari yang pertama, yaitu bentuk dasar terletak pada posisi kedua, sedangkan unsur ulangannya terletak pada posisi pertama (regresif).
2. Perubahan konsonan
Lauk lauk-pauk
Cerai cerai-berai
Sayur sayur-mayur
Ramah ramah-tamah
Pada contoh diatas terlihat bahwa bentuk dasarnya selalu terletak pada posisi pertama, sedangkan unsur ulangannya terletak pada posisi kedua (progresif).
Disamping contoh a dan b terdapat pengulangan berubah bunyi yang tidak dapat dikenali bentuk dasarnya,
Contoh:
• Mondar-mandir
• Hiruk-pikuk
• Compang-camping
• Morat-marit
• Kocar-kacir
• Desas-desus
3. Kata ulang Dwipurwa
Kata ulang dwipurwa yaitu kata yang dibentuk dari pengulangan suku pertama dari bentuk dasar,
Contoh:
• Tamu tetamu
• Tangga tetangga
• Luhur leluhur
• Laki lelaki
• Jaka jejaka
4. Kata ulang berimbuhan
Yaitu kata ulang yang dibentuk dari pengulangan kata yang disertai penambahan imbuhan (afiks).
Contoh:
• Daun daun-dedaunan
Ganti ganti-berganti
Merah kemerah-merahan
Besar sebesar-besarnya
• Dwipurwa + kombinasi dengan imbuhan
Pohon pepohonan
Daun dedaunan
Runtuh reruntuhan
Jumat, 01 Juni 2012
Kata Keterangan atau Adverbia
Kata-kata Keterangan atau adverbia adalah kata –kata yang memberi keterangan tentang:
1. Kata Kerja
2. Kata Sifat
3. Kata Keterangan
4. Kata Bilangan
5. Seluruh Kalimat
Kata keterangan secara tradisional dapat dibagi-bagi lagi atas beberapa macam berdasarkan artinya atau lebih baik berdasarkan fungsinya dalam kalimat, yaitu:
A. Kata Keterangan Kualitatif (Adverbium Kualitatif)
Adalah Kata Keterangan yang menerangkan atau menjelaskan suasana atau situasi dari suatu perbuatan.
Contoh: Ia berjalan perlahan-perlahan
Ia menyanyi dengan nyaring
Biasanya Kata Keterangan ini dinyatakan dengan mempergunakan kata depan dengan + Kata Sifat. Jadi sudah tampak di sini bahwa Kata Keterangan itu bukan merupakan suatu jenis kata tetapi adalah suatu fungsi atau jabatan dari suatu kata atau kelompok kata dalam sebuah kalimat.
B. Kata Keterangan Waktu (Adverbium Temporal)
Adalah keterangan yang menunjukkan atau menjelaskan berlangsungnya suatu peristiwa dalam suatu bidang waktu: sekarang, nanti, kemarin, kemudian, sesudah itu, lusa, sebelum, minggu depan, bulan depan, dan lain-lain.
Kata-kata seperti: sudah, telah, akan, sedang, tidak termasuk dalam keterangan waktu, sebab kata-kata tersebut tidak menunjukkan suatu bidang waktu berlangsungnya suatu tindakan, tetapi menunjukkan berlangsungnya suatu peristiwa secara obyektif.
C. Kata Keterangan Tempat (Adverbium Lokatif)
Segala macam kata ini memberi penjelasan atas berlangsungnya suatu peristiwa atau perbuatan dalam suatu ruang, seperti: di sini, di situ, di sana, ke mari, ke sana, di rumah, di Bandung, dari Jakarta dan sebagainya.
Dari contoh-contoh di atas tyang secara konvensional dianggap Kata Keterangan Tempat, jelas tampak bahwa golongan kata ini pun bukan suatu jenis kata, tetapi merupakan suatu kelompok kata yang menduduki suatu fungsi tertentu dalam kalimat. Keterangan Tempat yang dimaksudkan dalam Tatabahasa-tatabahasa lama terdiri dari dua bagian yaitu kata depan (di, ke, dari) dan kata benda atau kata ganti penunjuk.
D. Kata Keterangan Cara (Keterangan Modalitas)
Adalah kata-kata yang menjelaskan suatu peristiwa karena tanggapan si pembicara atas berlangsungnya peristiwa tersebut. Dalam hal ini subyektivitas lebih ditonjolkan. Keterangan ini menunjukkan sikap pembicara, bagaimana cara ia melihat persoalan tersebut. Pernyataan sikap pembicara atau tanggapan pembicara atas berlangsungnya peristiwa tersebut dapat berupa:
1. Kepastian : memang, niscaya, pasti, sungguh, tentu, tidak, bukannya, bukan.
2. Pengakuan : ya, benar, betul, malahan, sebenarnya.
3. Kesangsian : agaknya, barangkali, entah, mungkin, rasanya, rupanya, dan lain-lain.
4. Keinginan : moga-moga, mudah-mudahan.
5. Ajakan : baik, mari, hendaknya, kiranya.
6. Larangan : jangan.
7. Keheranan : masakan, mustahil, mana boleh.
Catatan: Kata tidak menyatakan kepastian dengan mengingkarkan sesuatu, begitu juga kata bukan. kata tidak dipakai untuk menyatakan ingkaran biasa, ingkaran pada perbuatan, keadaan, hal atau segenap kalimat, sedangkan bukan menyatakan suatu pertentangan dan menyangkal bagian dari suatu kalimat.
1. Kata Kerja
2. Kata Sifat
3. Kata Keterangan
4. Kata Bilangan
5. Seluruh Kalimat
Kata keterangan secara tradisional dapat dibagi-bagi lagi atas beberapa macam berdasarkan artinya atau lebih baik berdasarkan fungsinya dalam kalimat, yaitu:
A. Kata Keterangan Kualitatif (Adverbium Kualitatif)
Adalah Kata Keterangan yang menerangkan atau menjelaskan suasana atau situasi dari suatu perbuatan.
Contoh: Ia berjalan perlahan-perlahan
Ia menyanyi dengan nyaring
Biasanya Kata Keterangan ini dinyatakan dengan mempergunakan kata depan dengan + Kata Sifat. Jadi sudah tampak di sini bahwa Kata Keterangan itu bukan merupakan suatu jenis kata tetapi adalah suatu fungsi atau jabatan dari suatu kata atau kelompok kata dalam sebuah kalimat.
B. Kata Keterangan Waktu (Adverbium Temporal)
Adalah keterangan yang menunjukkan atau menjelaskan berlangsungnya suatu peristiwa dalam suatu bidang waktu: sekarang, nanti, kemarin, kemudian, sesudah itu, lusa, sebelum, minggu depan, bulan depan, dan lain-lain.
Kata-kata seperti: sudah, telah, akan, sedang, tidak termasuk dalam keterangan waktu, sebab kata-kata tersebut tidak menunjukkan suatu bidang waktu berlangsungnya suatu tindakan, tetapi menunjukkan berlangsungnya suatu peristiwa secara obyektif.
C. Kata Keterangan Tempat (Adverbium Lokatif)
Segala macam kata ini memberi penjelasan atas berlangsungnya suatu peristiwa atau perbuatan dalam suatu ruang, seperti: di sini, di situ, di sana, ke mari, ke sana, di rumah, di Bandung, dari Jakarta dan sebagainya.
Dari contoh-contoh di atas tyang secara konvensional dianggap Kata Keterangan Tempat, jelas tampak bahwa golongan kata ini pun bukan suatu jenis kata, tetapi merupakan suatu kelompok kata yang menduduki suatu fungsi tertentu dalam kalimat. Keterangan Tempat yang dimaksudkan dalam Tatabahasa-tatabahasa lama terdiri dari dua bagian yaitu kata depan (di, ke, dari) dan kata benda atau kata ganti penunjuk.
D. Kata Keterangan Cara (Keterangan Modalitas)
Adalah kata-kata yang menjelaskan suatu peristiwa karena tanggapan si pembicara atas berlangsungnya peristiwa tersebut. Dalam hal ini subyektivitas lebih ditonjolkan. Keterangan ini menunjukkan sikap pembicara, bagaimana cara ia melihat persoalan tersebut. Pernyataan sikap pembicara atau tanggapan pembicara atas berlangsungnya peristiwa tersebut dapat berupa:
1. Kepastian : memang, niscaya, pasti, sungguh, tentu, tidak, bukannya, bukan.
2. Pengakuan : ya, benar, betul, malahan, sebenarnya.
3. Kesangsian : agaknya, barangkali, entah, mungkin, rasanya, rupanya, dan lain-lain.
4. Keinginan : moga-moga, mudah-mudahan.
5. Ajakan : baik, mari, hendaknya, kiranya.
6. Larangan : jangan.
7. Keheranan : masakan, mustahil, mana boleh.
Catatan: Kata tidak menyatakan kepastian dengan mengingkarkan sesuatu, begitu juga kata bukan. kata tidak dipakai untuk menyatakan ingkaran biasa, ingkaran pada perbuatan, keadaan, hal atau segenap kalimat, sedangkan bukan menyatakan suatu pertentangan dan menyangkal bagian dari suatu kalimat.
Definisi Puisi Menurut Para Ahli
Definisi puisi menurut para ahli:
Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.
Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.
Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.
Menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984), puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larit dan bait.
Putu Arya Tirtawirya (1980:9) mengatakan bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit, samar dengan makna yang tersirat di mana kata-katanya condong pada makna konotatif.
Ralph Waldo Emerson (Situmorang, 1980:8) mengatakan bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.
William Wordsworth (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah peluapan yang spontan dari perasaan-perasaan yang penuh daya, memperoleh asalnya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali dalam kedamaian.
Percy Byssche Shelly (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling senang dari pikiran-pikiran yang paling senang.
Watt-Dunton (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekpresi yang kongkret dan yang bersifat artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.
Samuel Taylor Coleridge mengemukakan puisi itu adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat berhubungannya, dan sebagainya.
Carlyle mengatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musikal. Penyair menciptakan puisi itu memikirkan bunyi-bunyi yang merdu seperti musik dalam puisinya, kata-kata disusun begitu rupa hingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, yaitu dengan mempergunakan orkestra bunyi.
Wordsworth mempunyai gagasan bahwa puisi adalah pernyataan perasaan yang imajinatif, yaitu perasaan yang direkakan atau diangankan. Adapun Auden mengemukakan bahwa puisi itu lebih merupakan pernyataan perasaan yang bercampur-baur.
Menurut Kamus Istilah Sastra (Sudjiman, 1984), puisi merupakan ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larit dan bait.
Putu Arya Tirtawirya (1980:9) mengatakan bahwa puisi merupakan ungkapan secara implisit, samar dengan makna yang tersirat di mana kata-katanya condong pada makna konotatif.
Ralph Waldo Emerson (Situmorang, 1980:8) mengatakan bahwa puisi mengajarkan sebanyak mungkin dengan kata-kata sesedikit mungkin.
William Wordsworth (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah peluapan yang spontan dari perasaan-perasaan yang penuh daya, memperoleh asalnya dari emosi atau rasa yang dikumpulkan kembali dalam kedamaian.
Percy Byssche Shelly (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah rekaman dari saat-saat yang paling baik dan paling senang dari pikiran-pikiran yang paling senang.
Watt-Dunton (Situmorang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekpresi yang kongkret dan yang bersifat artistik dari pikiran manusia dalam bahasa emosional dan berirama.
Lescelles Abercrombie (Sitomurang, 1980:9) mengatakan bahwa puisi adalah ekspresi dari pengalaman imajinatif, yang hanya bernilai serta berlaku dalam ucapan atau pernyataan yang bersifat kemasyarakatan yang diutarakan dengan bahasa yang mempergunakan setiap rencana yang matang serta bermanfaat.
Pengertian Puisi
Puisi adalah medium untuk mengungkapkan uneg-uneg. Apa saja mulai dari perasaan, keinginan, kasih, kekecewaan, cita-cita, pengalaman, pengamatan, hingga pemberontakan. Dan tempat latihan melatih mengasah ketajaman berpikir. Demikian juga pembelajaran tentang banyak hal; misal, belajar menuangkan ide gagasan secara padat dan teatur.
Puisi dapat memberi kehangatan, ketenteraman, tawa; ia juga dapat membangkitkan, menenangkan, dan menghibur. Di atas semuanya puisi dapat memberikan penekanan arti terhadap pengalaman sehari-hari. ungkapan jati diri. Puluhan, bahkan ratusan puisi tersebut menandakan betapa kita, sadar atau tidak telah menikmati kebahagiaan bergaul dengan puisi; membacanya, mendengarkan pembacaannya, menikmati bunyi, merenungkan makna, dan memahami isinya, bahkan menulis dan menciptakannya. Kesempatan bergaul dengan pusi tersebut juga menggaris-bawahi usaha kita menghayati kembali pengalaman hidup keseharian kita. Artinya, kita menanggapi kehidupan beserta warna dan likunya dengan hati yang sugguh, dan kesungguhan tersebut kita larikan ke puisi, karena disana kita dapat “bermain” dengan kata.
“Bermain” dengan kata, berpikir dan pada gilirannya berbicara, telah kita kenal sejak kanak-kanak. Ayah dan ibu mendendangkan lagu kasih dan lagu ninabobo di telinga kita. Dalam bermain kita menyanyikan lagu dolanan yang ceria, menghibur, dan mendidik. Di bangku sekolah bahkan kita telah membacakan puisi! Begitu eratnya hubungan kita dengan permainan lagu dan puisi tersebut, sehingga banyak orang menganggap bahwa puisi itu sama pentingnya dengan musik dalam kehidupan kita (pernah membayangkan hidup tanpa suara, tanpa bunyi, tanpa musik? Alahkah senyap dan menekan!).
Puisi memang mengelilingi kita. Dalam ucapan selamat dari sang kekasih, kita temui puisi. Dalam surat dari ibu, di media massa, SMS, E-Mail dan pada pembicaraan di halaman juga kita temui puisi, dimana-dimana kita bisa temui puisi.
Barangkali ada baiknya kita mengingat kembali bahwa hakikat puisi adalah pengungkapan tabir: dengan susunan kata yang kaya akan imaji, dengan penyingkapan pendirian atau keyakinan penulis, pemahaman kita dipertajam sehingga dapat melihat pengalaman kita sendiri atau dengan empati yang tulus dapat berbagi pengalaman atau impian dengan orang lain. Oleh karena itu, kalau kita tilik kembali pengalaman kita dengan puisi selama ini, benarlah puisi itu mengejutkan, menyenangkan: Ia bernyanyi bagai musik, ia membuat kita merasakan sesuatu secara lebih intens.
Puisi adalah pada dasarnya merupakan pengalaman hidup yang ditulis kembali secara padat dan baru dalam permainan kata penuh imaji dan perlambangan, kita telah memulai menikmati kegembiraan bergaul dengannya.
Puisi dapat memberi kehangatan, ketenteraman, tawa; ia juga dapat membangkitkan, menenangkan, dan menghibur. Di atas semuanya puisi dapat memberikan penekanan arti terhadap pengalaman sehari-hari. ungkapan jati diri. Puluhan, bahkan ratusan puisi tersebut menandakan betapa kita, sadar atau tidak telah menikmati kebahagiaan bergaul dengan puisi; membacanya, mendengarkan pembacaannya, menikmati bunyi, merenungkan makna, dan memahami isinya, bahkan menulis dan menciptakannya. Kesempatan bergaul dengan pusi tersebut juga menggaris-bawahi usaha kita menghayati kembali pengalaman hidup keseharian kita. Artinya, kita menanggapi kehidupan beserta warna dan likunya dengan hati yang sugguh, dan kesungguhan tersebut kita larikan ke puisi, karena disana kita dapat “bermain” dengan kata.
“Bermain” dengan kata, berpikir dan pada gilirannya berbicara, telah kita kenal sejak kanak-kanak. Ayah dan ibu mendendangkan lagu kasih dan lagu ninabobo di telinga kita. Dalam bermain kita menyanyikan lagu dolanan yang ceria, menghibur, dan mendidik. Di bangku sekolah bahkan kita telah membacakan puisi! Begitu eratnya hubungan kita dengan permainan lagu dan puisi tersebut, sehingga banyak orang menganggap bahwa puisi itu sama pentingnya dengan musik dalam kehidupan kita (pernah membayangkan hidup tanpa suara, tanpa bunyi, tanpa musik? Alahkah senyap dan menekan!).
Puisi memang mengelilingi kita. Dalam ucapan selamat dari sang kekasih, kita temui puisi. Dalam surat dari ibu, di media massa, SMS, E-Mail dan pada pembicaraan di halaman juga kita temui puisi, dimana-dimana kita bisa temui puisi.
Barangkali ada baiknya kita mengingat kembali bahwa hakikat puisi adalah pengungkapan tabir: dengan susunan kata yang kaya akan imaji, dengan penyingkapan pendirian atau keyakinan penulis, pemahaman kita dipertajam sehingga dapat melihat pengalaman kita sendiri atau dengan empati yang tulus dapat berbagi pengalaman atau impian dengan orang lain. Oleh karena itu, kalau kita tilik kembali pengalaman kita dengan puisi selama ini, benarlah puisi itu mengejutkan, menyenangkan: Ia bernyanyi bagai musik, ia membuat kita merasakan sesuatu secara lebih intens.
Puisi adalah pada dasarnya merupakan pengalaman hidup yang ditulis kembali secara padat dan baru dalam permainan kata penuh imaji dan perlambangan, kita telah memulai menikmati kegembiraan bergaul dengannya.
Hakikat Puisi
Sebuah puisi modern tetap dapat disebut sebagai puisi ternyata bukan karena bentuknya, tetapi lebih cenderung karena ada hakikat puisi yang terkandung didalamnya. Waluyo (1991: 140) berpendapayt bahwa puisi merupakan bentuk karya sastra yang mengungkapkan perasaan penyair secara imajinatif. Wujud karya sastra tersebut muncul karena puisi merupakan karya seni yang puitis. Dikatakan puitis karena membangkitkan perasaan, menarik perhatian, bahkan memancing timbulnnya tanggapan pembaca.
Sejalan dengan pendapat diatas, Ahmad (dalam Pradopo, 2005: 5) mengemukakan bahwa unsure-unsur puisi dapat disatukan sehingga dapat diketahui beberapa unsure berupa emosi,imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan, pancaindra, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur baur. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwaada tiga unsure pokok yang terdapat dalam puisi, yaitu (1) pemikiran ide, (2) bentuk, dan (3) kesan.
Unsur-unsur Pembentuk Puisi
1. Diksi
Diksi merupakan pemilihan kata untuk mengungkapkan gagasan. Diksi yang baik berhubungan dengan pemilihan kata yng bermakna tepat dan selaras, yang penggunaannya cocok dengan pokok pembicaraan, peristiwa dan khalayak pembaca atau pendengar ( Suroto, 1989: 112).
2. Bunyi
Dalam puisi bunyi bersifat estetik untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif (Prapodo, 2005: 22). Bunyi disamping hiasan dalam puisi juga mempunyai tugas untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dan sebagainya.
3. Rima
Rima adalah persamaan atau pengulanhan bunyi baik diawal larik atau diakhir larik. Didalamnya masih mengandung berbagai aspek yang meliputi, rima akhir, rima dalam, rima rupa, rima identik, rima sempurna, asonansi, dan aliterasi.
4. Irama
Irama adalah panduan bunyi yang menimbulkan efek musikalitas, baik berupa alunan keras-lunak, kuat-lemah, panjang-pendek, maupun tinggi-renah, yang kesemuanya dapat menimbulkan kemerduan bunyi, kesan suasana serta makna tertentu.
5. Ragam Bunyi
Ragam bunyi meliputi bunyi eufoni , kakofoni, dan onomatope. Penggunaan kombinasi atau pengulangan bunyi vokal (a, I, u, e, o) dan sengau
(m, n, ng, ny) menimbulkan efek yang merdu dan berirama (eufoni). Bunyi ini menimbulkan keriangan, vitalitas maupun gerak. Sebaliknya kombinasi bunyi yang tidak merdu dan terkesan parau (kakafoni) misalnya k, p, t, s, b, p, m terkesan berirama berat lebih cocok utuk menimbulkan kesan kekuatan, tekanan, kekecauan, kahancuran, galau, gelisah, dan amarah.
6. Bahasa Puisi
Bahasa merupakan sarana ekspresi dalam penulisan puisi (Pratiwi, 2005: 78). Bahasa kias menyebabkan puisi menarik perhatian, menimbulkan kesegaran hidup, dan terutamamenimbulkan kejelasan gambaran angan (Pradopo, 2005: 54)
7. Tipografi
Tipografi merupakan pembeda yang paling awal dapat dilihat dalam membedakan puisi dengan prosa fiksi dan drama (Jabrohim, 2004: 54). Penulis puisi membuat puisi dengan cara menampilkan bentuk-bentuk tertentu yang dapat diamati secara visual (Aminudin, 2002: 146; Dermawan, 1999: 44)
8. Isi Puisi
Menurut Waluyo (2001: 65) isi puisi mencakup tema, perasaan penyair, nada, dan amanat.
Tema adalah sesuatu yang menjadi pemikiran penulis puisi. Tema juga dapat dikatakan sebagai ide dasar suatu puisi yang menjadi inti dari keseluruhan makna puisi.
Nada adalah sikap penyair kepada pembaca. Penulis puisi bisa bersikap menggurui, menasehati, mengejek, menyindir, atau bisa jadi penulis puisi bersikap lugas, hanya menceritakan sesuatu lepada pembaca
9. Imaji dan Simbol
Dalam menulis sebuah puisi, biasanya penyair tidak hanya menggunakan kata-kata yang bermakna lugas atau denotatif, tatapi menggunakan kata-kata yang bermakna atau mengandung arti lain atau konotatif. Dalam hubungannya dengan arti konotatif, imaji dan simbol mempunyai hubungan. Persamaanya adalah bahwa baik citra maupun simbol bermakna konotatif. Adapun perbedaannya adalah terletak pada cara pengungkapannya.
Langganan:
Postingan (Atom)